KOMPAS.com – Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer secara khusus memberikan komentar tentang tokoh yang sering disebut oleh pemerintah kolonial sebagai “Indonesia’s Grand Old Man, Agus Salim!”. Bahkan, orang Belanda memujinya dengan mengatakan “Salim op zijn best”!
Salim adalah prototip pejuang Indonesia yang mengenyam pendidikan Belanda dan juga seorang otodidak. Ia adalah diplomat yang memiliki kemampuan berdebat cerdas, menguasai bahasa asing dengan baik, — 7 bahasa asing dikuasainya antara lain Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Arab, Turki dan Jepang, — dan menulis dengan militan.
Laki-laki kurus kecil asal Batusangkar, Sumatera Barat, yang selalu menghisap rokok kretek itu tidak perlu mengemis untuk sebuah paspor hitam untuk “mengaum” di meja-meja diplomasi dunia. Salim diakui kepiawaian dalam berdiplomasi. Ia punya skil komunikasi tutur dan tulis sangat mumpuni yang menjadi modal utamanya sebagai diplomat.
Sosok Salim kelak akan menjadi pemantik “spesies” yang lebih hebat seperti Soekarno, Tan Malaka, Muhammad Hatta, M Natsir, Hamka dan lainnya. Kesemuanya bisa dialektika, membaca, dan menulis dengan sempurna.
Buku dan pena
Budaya membaca dan menulis seyogianya harus ditularkan dan diinspirasi dari seorang pemimpin. Bung Karno, yang sangat “gila” membaca, mewariskan buku sekaliber Di Bawah Bendera Revolusi kepada bangsa ini.
Hatta dan 11 peti berisi buku yang dibawanya pulang ke tanah air setelah tafakur intelektualnya selama kurang lebih 11 tahun di Negeri Kincir Angin pun begitu. OA membuktikan bahwa buku adalah amunisi bagi perjuangan, sementara pena adalah meriamnya untuk memenangkan perjuangan itu.
Tentu, di era sekarang, kita pun masih membutuhkan buku dan pena sebagai amunisi dan meriam dalam era regionalisasi dan globalisasi ini. Bahkan lebih!
Faktanya, dan ini mengkhawatirkan, bahwa budaya membaca di Indonesia masih kurang. Itu kalau tak mau dikatakan memprihatinkan.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO 2012) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya, pada setiap 1.000 orang hanya ada satu orang yang punya minat membaca.
Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Tidak usah dibandingkan dengan Jepang dan Amerika yang rata-rata membaca 10-20 buku pertahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, yang membaca 2-3 buku per tahun, kita pun masih sangat ketinggalan (Kompas: Membaca Sebagai Jendela untuk Melihat Dunia).
Melihat itu, kita tentu membutuhkan generasi muda yang ada “garam” dalam setiap ucapannya, dan militan dalam tulisannya. Seperti tulisan-tulisan Agus Salim, Soekarno atau Hatta.
Sejatinya, Indonesia membutuhkan generasi muda yang menjadikan buku sebagai jendela pengetahuan untuk mendapatkan cakrawala ilmu dan kearifan. Generasi yang memiliki karakter ulama (agamis), intelektual, diplomat, satrawan, ahli debat ulung, dan guru yang jenius. Juga, seperti Agus Salim atau Hamka.